Minggu, 06 November 2011

Selamat pagi, kawan… Untuk kesekian kalinya “Dialog Interaktif Mario Teguh” hadir di Radio Suara Surabaya. Bersama Mario Teguh, MBA dari Exnal Corp Jakarta. Semoga dari perbincangan ini nanti dapat tercipta satu tambahan wawasan, penyegaran atau bahkan inspirasi solusi dari masalah yang Anda hadapi. Pagi ini kita akan membahas tentang Motivasi dan Demotivasi.

Vika
Selamat pagi, Pak Mario.
Bicara tentang motivasi dan demotivasi, kelihatannya kita akan membicarakan sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan kita secara teknis atau operasional. Apakah benar demikian ?

Mario Teguh
Kadang-kadang motivasi disebut komponen lunak dari sebuah bisnis. Bukan software tapi soft component. Tapi alasan mengapa sebuah perusahaan menjadi besar atau kecil, memang tergantung dari motivasi atau demotivasi ini.
Tidak mungkin orang-orang yang punya kemampuan teknis tinggi bisa menghasilkan dan baik bagi perkembangan perusahaan kalau dia tidak sedang bersemangat. Sebaliknya, sebersemangat apa pun orang yang tidak mampu, tetap dia seorang yang tidak mampu yang bersemangat.

Vika
Bagi para manajer, pembahasan tentang motivasi ‘kan bukan barang baru lagi, ya ?

Mario Teguh
Motivasi itu sebuah target yang bergerak. Untuk membidiknya dengan tepat dibutuhkan penyesuaian pada diri kita. Karena hari ini… tidak usah sebut hari ini, pagi ini kita bisa sangat bersemangat, tapi nanti siang, atasan kita bicara salah saja, kita bisa seolah-olah kehilangan semangat untuk bekerja enam bulan ke depan.
Hal seperti ini bisa terjadi kapan pun.

Vika
Kita bisa saja tahu, apa itu motivasi, bagaimana cara menumbuhkannya, seolah-olah semua teori tentang motivasi ada di kepala kita. Tapi pada penerapannya, sering juga, ya terjadi kegagalan ?

Mario Teguh
Betul…

Vika
Mungkin kita perlu mengenali lebih dulu, apa sih komponen atau faktor-faktor motivasi itu sendiri ?

Mario Teguh
Kita bicara pada tingkat pribadi dulu. Orang-orang yang menjadi ‘demotivated’ --yang menjadi tidak bersemangat karena perilaku orang lain, atasannya atau bawahannya-- adalah orang-orang yang menggantungkan keberhasilannya pada ‘baik’-nya orang lain. Sedangkan orang-orang yang tahan banting, tidak terganggu oleh buruknya sikap atasan, oleh berkhianatnya teman, atau tidak jujurnya anak buah.
Yang terpengaruh oleh hal-hal itu adalah orang yang menggantungkan keberhasilannya pada baiknya orang. Jadi kalau atasannya baik, temannya baik, bawahannya baik, baru dia baik. Itu nggak masuk akal, karena setiap orang pada akhirnya bertanggung jawab terhadap keselamatannya sendiri.
Orang-orang yang mengambil keberhasilan karirnya sebagai tanggung jawab pribadi, dia melihat buruknya sikap atasan, berkhianatnya anak buah atau kepalsuan teman-temannya sebagai sebuah tantangan.
Vika
Ini dari sisi pribadi, ya ?

Mario Teguh
Betul.

Vika
Kalau dari sisi perusahaan atau organisasi, apakah mungkin ‘kurangnya pengawasan dari atasan’ termasuk salah satu penyebab berkurangnya motivasi?

Mario Teguh
Tolong ini digarisbawahi, karena ini kesimpulan paling penting mengenai budaya perusahaan.
Rusaknya semangat karyawan, kalau terjadi secara paralel, simultan, kepada banyak orang, maka akan terbentuk budaya demotivasi. Jadi, perusahaan itu secara keseluruhan rusak semangatnya. Dan biaya pengelolaan perusahaan yang semangatnya rusak --anak buah tidak datang pagi kalau tidak diharuskan, kalau bisa malah datang siang, tapi saat pulang tepat waktu bahkan kalau bisa lebih awal, mengenai komisi mereka hitung-hitungan tapi soal hasil tidak, pangkat mereka tuntut tapi kontribusi kepada perusahaan tidak-- kalau sudah begini sudah menjadi sebuah kultur demotivasi. Budayanya, budaya tidak bersemangat.
Itu semua datang, karena kesalahan sistem reward dan punishment. Salahnya pada sistem pengenalan dan sistem pemberian sanksi. Lalu pemilik perusahaan mengatakan begini, “Lho, kok selalu dikait-kaitkan, sih dengan pemberian pengenalan atau hukuman, kenapa tidak dilihat dari semangat orangnya ?”
Sekarang kita lihat, ya… seorang anak buah yang rajin --katakan saja dia belum mendengar siaran kita ini, menganggap bahwa keberhasilannya adalah tanggung jawabnya pribadi. Tetapi anak buah yang menganggap bahwa lingkungan kerja bertanggung jawab juga atas karirnya, sementara atasannya tidak mengenali orang yang baik --tidak meberi tepuk tangan pada anak buah yang baik, tidak menepuk pundak mereka, bahkan tidak memberi hadiah, kenaikan pangkat atau gaji; sebaliknya yang jelek, yang hanya menjilat, yang jelas-jelas merugikan perusahaan justru naik pangkat-- secara langsung memberikan dampak yang sangat jelek pada semangat perusahaan.
Tidak berarti harus mengubah sistem penggajian atau sistem sangsi. Tidak harus. Tetapi perusahaan yang salah menggunakannya otomatis akan merusak semangat anak buah.

Taufik
Saya sangat tertarik dengan pembahasan Anda tentang motivasi. Rasanya menyentuh pada pribadi saya.
Saya bekerja di satu perusahaan di mana sebelum masa krisis visi dan karir bagi karyawan cukup jelas. Standard penggajiannya demikian pula. Tetapi sekarang, tinjauan penggajian justru lambat. Selain itu, seperti Anda katakan tadi, yang baik, yang punya motivasi cukup tinggi justru tidak mendapat penilaian bahkan cenderung kurang diperhatikan. Sedangkan mereka yang bisa menjilat malah mendapat kesempatan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar